PERTUNANGAN DALAM UNDANG-UNDANG SIMBUR CAHAYA (STUDI KOMPARATIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM ADAT)

AYU LESTARI, NIM. 1531500096 (2019) PERTUNANGAN DALAM UNDANG-UNDANG SIMBUR CAHAYA (STUDI KOMPARATIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM ADAT). Diploma thesis, UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH.

[img]
Preview
Text
HALAMAN JUDUL.pdf

Download (833kB) | Preview
[img]
Preview
Text
BAB I.pdf

Download (306kB) | Preview
[img]
Preview
Text
BAB KESIMPULAN DAN SARAN.pdf

Download (195kB) | Preview
[img]
Preview
Text
LAMPIRAN-LAMPIRAN KARYA ILMIAH.pdf

Download (600kB) | Preview

Abstract

Simbur Cahaya merupakan peraturan yang berlaku sejak masa Kesultanan Darussalam untuk wilayah pedalaman (uluan) sampai periode kemerdekaan RI saat dihapuskannya sistem pemerintahan marga pada tahun 1979. Pertunangan dalam Undang-undang Simbur Cahaya diatur dengan sangat baik dan juga tegas, setiap pasal memuat aturan adat dan sanksi adat jika dilanggar. Pemutusan pertunangan dari pihak perempuan dalam adat menimbulkan hukum materil yang harus dibayar. Dalam Islam tidak ada hukum materil terhadap seseorang yang menyalahi janjinya dan pemutusan pertunangan menjadi hak masing-masing pihak yang telah mengikat janji. Hal ini menunjukkan bahwa tidak seluruh aturan mengenai pertunangan dalam Undangundang Simbur Cahaya terakomodasi dengan hukum Islam. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, penelitian yang mengacu pada perbandingan hukum, diperoleh dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder seperti Undang-undang Simbur Cahaya, buku-buku dan juga hasil penelitian. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu analisis normatif komparatif. Berdasarkan hasil penelitian ini bahwa pertunangan dalam Undang-undang Simbur Cahaya dilakukan dengan menggunakan adat terang diawali dengan proses madik (mencari tahu) kemudian sengguk (pertemuan tanda sepakat) dan ngebet (pertunangan). Sedangkan dalam hukum Islam pertunangan dilakukan dengan datangnya bujang kepada wali gadis dengan maksud meminang, jika disetujui wali si gadis, maka gadis berhak menentukan (menerima atau menolak), jika diterima maka diadakan acara pertunangan (khutbah). Proses pertunangan yang diatur dalam Undang-undang Simbur Cahaya telah terakomodasi dengan hukum Islam, hanya saja terdapat perbedaan dalam hal kompensasi akibat putusnya pertunangan. Dalam Adat, pertunangan disebut sebagai peristiwa hukum, sehingga menimbulkan konpensasi atas pembatalan, sedangkan dalam Islam tidak. Dalam Adat kompensasi diberikan sebagai bentuk penghormatan. Dalam Islam kompensasi atas putusnya pertunangan belum ditemui dalam literatur ulama klasik, karena dalam Islam pertunangan hanya sebatas persiapan menikah dan kedua belah pihak berhak untuk membatalkan pertunanganya kapanpun itu. Pengadilan di Mesir pernah menyelesaikan perkara kompensasi pemutusan pertunangan. Keputusan pengadilan di Mesir menyatakan, bahwa kompensasi dapat diberikan terhadap pihak yang menimbukan kerugian yang amat memberatkan bagi pihak yang dirugikan. Hal ini dilakukan bukan karena alasan pemutusan pertunangan yang mengharuskan kompensasi melainakan karena adanya kerugian yang cukup besar, terutama bagi keluarga yang perekonomianya sulit. Dengan demikian pertunangan dalam Undang-undang Simbur Cahaya tidak bertentangan dengan tujuan dari syari’at Islam. Kata kunci: Pertunangan, Undang-undang Simbur Cahaya

Item Type: Thesis (Diploma)
Subjects: Syariah dan Hukum > Hukum (Umum)
Depositing User: UPT Perpustakaan Pusat
Date Deposited: 02 Sep 2019 04:44
Last Modified: 02 Sep 2019 04:44
URI: http://repository.radenfatah.ac.id/id/eprint/4423

Actions (login required)

View Item View Item