CORAK PEMIKIRAN TASAWUF BABA ABDULLAH

AMIN, ABD. AZIM (2020) CORAK PEMIKIRAN TASAWUF BABA ABDULLAH. Masters thesis, UIN RADEN FATAH PALEMBANG.

[img]
Preview
Text
ABD. AZIM AMIN.pdf

Download (1MB) | Preview

Abstract

ABSTRAK Tasawuf sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari bagaimana dapat berada/ berhubungan sedekat mungkin dengan Allah Swt. Adanya perbedaan interpretasi pada beberapa ayat al-Qur`an yang berkaitan dengan tasawuf, melahirkan beberapa paham yang sulit dikompromikan, maka lahirlah beberapa corak pemikiran tasawuf dengan beberapa paham; “Tuhan dapat bersatu dengan makhluk (al-ittihad)”; atau “Tuhan dapat bertempat di dalam – diri -makhluk (al-hulul)”, atau “Tuhan tidak dapat bersatu, karena berlainan zat dan kedudukan”, dls. Proses Islamisasi di Palembang melalui saluran tasawuf dan lainnya yang berlangsung sejak abad ke-15 Masehi. Pertumbuhan dan perkembangannya mengalami pasan-surut dan timbul-tenggelam mengiringi perkembangan kerajaan Islam. Sejak adanya fase intervensi, agressi dan penindasan dari bangsa Barat, tasawuf mampu bertahan dalam mengokohkan rohani umat Islam. Namun, bukan mustahil, kekalahan yang dialami umat Islam, terutama yang berada di negeri Palembang pada abad ke-19 M dapat menjadi salah satu faktor bagi sebagian besarnya mengalami hamm, hazn, ajaz, kasal, jubn, bukhl, gholbah dain, qohrurrijal, atau dikenal sebagai depresi. Pada fase ini, Baba Abdullah bin almarhum Baba Abdul (BA) Kholik dilahirkan (1234/ 1818) dan dibesarkan oleh ibunya bernama Fatimah bersama 5 (lima) saudara kandungnya di daerah pengungsian. Ayahnya selaku Menteri sultan Mahmud Badaruddin II; berpangkat Kiyai Demang Wirolaksana; berjuluk selaku Pangeran Natokeram, gugur selaku syahid akhirat di dusun Belido tahun 1819.M Mereka dididik oleh dua wandanya; BA. Abdul Jalil yang berpangkat Kiyai Ranggo Laksano Jayo, dan Nyai Siu; isteri Kiyai Ranggo Wirosentiko dalam suasana kehidupan sufi. Tahun 1830, ia menuntut ilmu di PP Buntet (Cirebon) yang didirikan tahun 1786, dan diasuh oleh Kiyai Mbah Muqoyyim; mantan Mufti kesuhunan Anoman Cirebon yang anti kaum Kafir. Setamat tk. MA (1836) ia meneruskan tk. Ma’had Ali, tahun 1838 (usia 20 tahun) ia mengarang risalah tasawuf sebagai bekal dalam upaya mengokohkan jati-diri kaumnya agar tetap memiliki ketegaran rohani. Naskah sebanyak 32 halaman sekalipun sudah mengalami kerusakan sebab termakan usia, cukuplah sebagai bukti kepeduliannya dalam upaya membentuk kehidupan sosial dan kepribadian umat/ bangsanya masa itu. Adapun metode penulisan tesis ini diawali dengan menyeleksi dan menyusun data yang telah masuk. Kumpulan data dipisahkan, diseleksi kembali, dan dideskripsikan, lalu dianalisa dan diberi interpretasi, setelah itu baru dapat disimpulkan. Penulisannya terbagi dalam 5 (lima) bab, dan terdiri dalam beberapa sub bab pula. Setelah dilakukan analisis secara diskriptif kualitatif; dengan mengemukakan permasalahan dan menguraikan jawabannya sejelas mungkin. Kemudian ditarik kesimpulan secara deduktif, yaitu menyimpulkan dari pernyataan-pernyataan yang bersifat umum ke khusus. Hal demikian ditempuh dengan dua cara: (1) tingkatan diskusi dalam menerangkan beberapa masalah penting dan masih kurang jelas menurut peneliti, karena diskusi adalah cara yang sangat baik dalam menarik kesimpulan yang lebih tepat dan mewakili segala aspek yang ada; (2) Tingkatan interpretasi, yaitu menerangkan prinsip-prinsip yang terpendam dalam data menjadi suatu pengertian yang yang bulat. Kedua cara ini sangat menentukan dalam penelitian agama. Hasil penelitian ini menunjukkan, bahwa pemikiran tasawuf Baba Abdullah bercorak sunni yang dekat dengan pemikiran tasawuf al-Ghozali, karena tiga maqomnya sama, yang membedakannya hanya, karena ia membuat maqom khusus yang disebutnya sebagai maqom “ittibā’u rasul Allah”, maqom ini diyakini dapat menempati kedudukan tiga maqom lainnya sekaligus; yakni maqom “kesabaran, ketawakkala, dan kefaqiran (sangat membutuhkan) akan (curahan) rahmat Allah Swt”, tiga maqom ini diamalkan oleh nabi Muhammad; Rasulullah Saw. Syariat sebagai landasan untuk mencapai makrifat setelah membersihkan sifat tercela dalam diri melalui tarekat Naqsyabandiah, lalu dilanjutkan dengan mengamalkan hakekat melalui Zikirullah secara khofi agar dapat menduduki beberapa maqomnya; pertamanya; ar-ridhā (rela/ menerima keadaan kalah perang, pen), lalu al-mahabbah (tetap menyintai dan mengamalkan ajaran Allah dan rasul-Nya, pen), setelah itu ittibā’u rasul Allāh, yakni menjalani salat fardhu, taqorrub/ tawajjuh kepada-Nya, dan melakukan istigfār, yakni taubah. Dengan demikian, ia telah berupaya memadukan syariat dengan hakekat.

Item Type: Thesis (Masters)
Subjects: 900 Sejarah dan Geografi > Sejarah (Umum)
Depositing User: PPS Pasca Sarjana
Date Deposited: 10 Feb 2020 04:37
Last Modified: 10 Feb 2020 04:37
URI: http://repository.radenfatah.ac.id/id/eprint/6259

Actions (login required)

View Item View Item